Air terjun Madakaripura Tempat Terakhir Gajah Mada

Air terjun Madakaripura Tempat Terakhir Gajah MadaGajah Mada adalah tokoh penuh misteri yang keberadaan terakhir sebelum menghilang untuk selamanya adalah di Pura yang berada di area air terjun Madakaripura, Probolinggo, Jawa Timur.

Air terjun Madakaripura berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, tepatnya berada di desa Sapih, kecamatan Lombang kabupaten Probolinggo, dengan titik koordinat -7.853996, 113.008727. Kendaraan pribadi jadi pilihan paling tepat untuk mencapai lokasi air terjun tersebut karena letaknya yang jauh dari jalan utama.
Air terjun Madakaripura Tempat Terakhir Gajah Mada


Nama air terjun Madakaripura, mungkin masih jarang kita mendengarnya. Namun bagi warga Jawa Timur khususnya Malang, Pasuruan, Probolinggo dan sekitarnya, air terjun ini sudah akrab dan sangat terkenal. Disamping keindahannya, air terjun Madakaripura menyimpan banyak cerita legenda.

Cerita pertama tentu saja tentang Gajah Mada yang moksa di goa yang ada di tebing air terjun.  Cerita kedua yakni legenda Joko Lemu (gemuk) dan Joko Kuru (kurus). Juru kunci Madakaripura, Mbah Gondo Parman mengatakan,  dua cerita tersebut memang menjadi  kekuatan air terjun tersebut  hingga banyak pengunjung yang kemudian datang.

Cerita yang berkembang memang seperti itu. Soal kebenarannya diserahkan masing-masing pada masyarakat,” jelasnya.  Nama Madakaripura sendiri diartikan sebagai tempat persemedian terakhir Gajah Mada. Yakni Mada (Gajah Mada), Kari (terakhir), dan Pura (tempat ibadah).

Sejumlah mitos  juga diceritakan warga setempat. Diantaranya, keberadaan senjata ampuh milik sang maha patih. Senjata yang kasat mata itu konon tersimpan di goa tempat Gajah Mada bersemedi. Untuk meyakinkan bahwa Gajah Mada memang berada di tempat itu, dibangun dua patung Gajah Mada di lokasi menuju air terjun sebagai penanda.

patung gajah mada
Patung Gajah Mada

Patung pertama diwujudkan dengan bentuk Gajah Mada yang sedang berdiri dengan menghunus keris. Patung kedua menunjukkan bentuk Gajah Mada sedang duduk mendekapkan tangan sedang bersemedi. 
Dalam kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca memang disebutkan, jika Gajah Mada dihadiahi Raja Hayam  Wuruk tempat untuk bertapa. Dalam kitab yang diartikan  melalui tata bahasa Jawa Kuno itu, tempat itu adalah Madakaripura.

Hanya saja, tidak tidak ada keterangan mengenai air terjun dalam kitab tersebut.  Sementara, ada cerita lain yang diungkapkan Mbah Gondo, yakni legenda Joko Lemu dan Joko Kuru.

 

Legenda Joko Lemu dan Joko Kuru

Ini kisah yang terjadi berabad-abad silam. Ada dua orang lelaki bersaudara yang sedang bersaing dalam mencari kesempurnaan hidup, untuk mendapatkan tempat tertinggi di sorga nanti. Yang sulung bernama Si Kuru sebab badannya kurus-kering karena kurang makan, sedang adiknya Si Lemu yang berbadan gemuk.

Si Kuru setiap harinya berpuasa terus, kalau makan hanya dedaunan yang masuk ke perut. Itu pun dilakukan hanya demi kelangsungan hidupnya. Sedang Si Lemu memakan apa saja yang dapat dimakan, asal tidak merugikan orang lain.

Disamping bertapa, kedua orang itu selama bertahun-tahun mengabdikan dirinya untuk membantu masyarakat. Juga, selalu membangun keperluan keagamaan.

Di usia menjelang kematiannya, Dewa datang untuk menguji kedua orang tersebut. Seekor harimau putih disuruh mendatangi kedua bersaudara itu.

“Saya lapar, sudah lama tidak mendapatkan daging segar,” ucap si harimau yang bertubuh besar, sambil mengaum menakutkan, memperlihatkan gigi dan taringnya.

“Apa tidak salah kamu memilih saya yang kurus-kering?” jawab Si Kuru gemetar, keri¬ngat dingin mengalir dari seluruh tubuhnya.

“Tapi kalau Dewa memang menentukan saya yang jadi korban, saya pun menurut,” lanjutnya.

Harimau itu mengaum, lantas mengangguk-angguk mengatakan bahwa Si Kuru merupakan salah satu contoh manusia yang mulia.

Ketika harimau itu mendatangi Si Lemu, langsung pula manggut- manggut memuji kemuliaan jiwanya. Sebab Si Lemu langsung bersedia menjadi korbannya.

Kedua bersaudara itu kemudian mendengar janji bakal masuk sorga. Tapi Si Kurus tetap merasa penasaran karena belum mendapat kepastian siapa di antara keduanya yang lebih tinggi derajatnya di sorga, nanti.

Si Kuru lantas menggugat Dewa, minta selekasnya diberi jawaban. Dewa memberi petunjuk agar keduanya bertapa, menyongsong kematian, mengakhiri kehidupan dengan sempurna.

Si Kuru memilih di puncak satu bukit. Si Lemu memilih berada di dalam hutan. Demikianlah, kedua orang itu bertapa dengan sungguh-sungguh, duduk bersila selama berminggu-minggu, tanpa makan, minum dan tidur. Godaan dan bujukan berbagai atang atau mahluk halus tidak mampu membangunkan pertapaannya.

Tiba-tiba saja puncak bukit tempat si kurus bertapa jadi hangus, terbakar oleh panas yang keluar dari badan sikurus yang meminta Dewa agar selekasnya rohnya dicabut dan melayang menuju sorga. Memang dikabulkan. Si Kuru terbang lebih dulu masuk ke Nirwana.

Beberapa lama kemudian barulah Si Lemu menyusul, karena memang sudah tiba waktunya meninggal dunia.

Di Nirwana, Si Kuru masih belum puas. Tetap bertanya ke Dewa ; siapa sebenarnya yang lebih tinggi derajatnya di dalam kehidupan sorganya.

Dewa pun lalu menyuruh menyaksikan sendiri pada tempat bekas yang mereka gunakan bertapa. Siapa lebih tinggi derajat, maka bekas tempat mereka bertapa, petilasannya akan didatangi peziarah.

Karena ketika hidupnya Si Kuru lebih sering meminta dan menuntut kepada Dewa dibanding Si Lemu. Maka sebagai gantinya peziarah yang datang meminta di petilasan Si Lemu oleh Dewa dikabulkan.

Nah, sejak itulah makam alias petilasan Si Lemu didatangi banyak orang. Sedang petilasan Si Kuru semakin jarang didatangi, akhirnya dilupakan, dan dimana bekasnya sudah tidak bisa lagi ditemukan.

Petilasan Si Lemu sebaliknya semakin dikenal sebagai makam Mbah Sujud alias Mbah Ujud. Sebab disitulah orang berziarah bersujud, lantas permintaannya berwujud, terlaksana.

Gending Punggung Gunung

Ketika kedua bersaudara itu “muksa” menuju Nirwana, konon, dari kerajaan para Dewa terdengar alunan gending-gending dengan tetabuhan gamelan Lokananta.

Menurut cerita masyarakat setempat, seperangkat gamelan maupun sejumlah wayang kulit kadang menampakkan diri di punggung gunung kecil yang berada di atas pedukuhan Krajan. Untuk melihatnya di zaman kini memang terbilang langka, sebab haruslah orang yang mencapai “ilmu” tinggi.

Namun bagi masyarakat awam, sejumlah wayang kulit itu bisa dilihat sewaktu-waktu di sana berupa batu biasa, tapi kalau dibayang-bayangkan, bentuknya menyerupai wayang. Makanya disebut Watu Wayang.

Watu Wayang sepertinya sengaja berhadapan dengan puncak Bukit Pesantren yang berada di wilayah kabupaten Pasuruan. Ya, dari kedua puncak itu bila mata melihat ke bawah yang terletak di antara keduanya, sebuah sungai penuh batu mengalir ke arah utara.

Itulah Kali Laweyan yang mengalir menuju Laut Jawa sepanjang perbatasan kabupaten Probolinggo dan Pasuruan. Melewati Pamotan, Klampok, Tongas lalu bermuara di Tambakrejo. Bening pada musim kemarau, berwarna coklat dan gemuruh di musim hujan seperti saat ini.

Menyusur sungai kecil Laweyan ke arah hulu, menentang arus sejauh lebih sejam melangkahkan kaki, ternyata sampailah kita ke obyek wisata yang kini mulai didatangi turis asing. “Madakaripura”, itulah air terjun yang legendaris.

Konon, di situlah dulu mahapatih Gajahmada tapa kungkum, bertapa dengan berendam air untuk memperoleh kesaktian. Beberapa warga desa setempat mempercayai bahwa tokoh yang dikatakan sebagai Mbah Ujud, Mbah Sujud atau Si Lemu inilah pula yang pernah menjadi patih terkenal Majapahit yaitu Gajahmada.

Menurut Kepala Kantor Arsip Jawa Timur, Dwi Hartono, mengatakan, bahwa belum  ada literatur yang menyatakan keterkaitan Gajah Mada dengan  air terjun Madakaripura.

Sementara ini yang berkembang sebatas cerita, mitos, atau legenda,” katanya. Meski begitu, Ia bangga dengan kisah-kisah tersebut. Hal itu menjadi bukti  bahwa kabupaten memang menjadi salah satu wilayah yang  diperhatikan kerajaan Majapahit. “Berbeda dengan Candi Jabung, yang memang lebih jelas sejarahnya,” katanya.

Demikian  pembahasan tentang Air terjun Madakaripura Tempat Terakhir Gajah Mada, yang berada di Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, Probolinggo, Jawa Timur.

Sumber : Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: LIBERTY, 1720,16-28 FEBRUAR11990 TH. XXXVII.

Tidak ada komentar