Misteri Dibalik Tumbangnya Pohon Beringin

Misteri Dibalik Tumbangnya Pohon Beringin - Jika kita melihat atau mendengar berita sebuah pohon Randu atau pohon mahoni di pinggir jalan yang tumbang tertiup angin atau pohon kelapa roboh tersambar petir, kita menganggapnya sebagai  hal lumrah yang sering terjadi. Namun jika pohon Beringin yang tumbang atau roboh maka kita akan menganggapnya sebagai peristiwa langka dan mengandung makna atau pertanda misteri.
Misteri Dibalik Tumbangnya Pohon Beringin


Apalagi jika pohon Beringin tersebut berada di makam yang dikeramatkan atau berada di lingkungan keraton pasti masyarakat akan mengaitkannya dengan hal-hal yang berbau misteri.

Mengapa demikian?

Karena masyarakat Indonesia secara turun-temurun sudah menganggap jika pohon beringin itu adalah pohon misteri, rumah dari para mahluk gaib.

Pohon Peneduh yang menjadi simbol dari sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia dan juga lambang dari partai Golkar ini sudah memiliki image yang melekat di msyarakat sebagai pohon angker dan penuh misteri.

Pohon Beringin memiliki nama latin Ficus benjamina L, dalam bahasa Inggris disebut Weeping fig atau Benjamin tree. Sedangkan di Indonesia disebut pohon Caringin oleh masyarakat Sunda dan orang Jawa menyebutnya pohon Beringin.

Pohon Beringin biasanya ditanam di alun-alun kota, keraton, taman dan makam yang dianggap sebagai 'pundhen' desa.

Umur pohon Beringin ini bisa mencapai ratusan tahun makanya ketika pohon Beringin telah berusia tua akan terlihat lebih angker, lebih berwibawa dan memiliki aura yang berbeda.

Banyak misteri yang berkaitan dengan pohon Beringin, namun kali ini, spot misteri menghadirkan kisah tentang tumbangnya pohon Beringin yang sudah ratusan tahun tumbuh di makam batu gilang, makam keramat yang menjadi 'pundhen' desa Gilang, kecamatan Ngunut, Tulungagung, Jawa Timur.


Pada awal bulan Agustus 2009, pohon Beringin yang sudah ratusan tahun itu tumbang setelah hujan deras mengguyur desa Gilang hampir semalaman.

gambar pohon beringin roboh

Bagi masyarakat Jawa, pohon Beringin dianggap sebagai pohon keramat sehingga kabar tumbangnya pohon ini menyedot perhatian ratusan orang dari berbagai daerah yang datang untuk menyaksikannya. Dalam benak mereka penuh dengan tanda tanya, pohon Beringin yang memiliki batang yang kokoh serta akar yang menghunjam ke bumi, bisa tumbang sendiri? Apa sebenarnya yang terjadi dan pertanda apa?

Untuk mengetahui jawabannya, mari kita runut ke belakang tentang pundhen Gilang dan kebiasaan masyarakatnya.

Disebut 'Pundhen' Gilang karena ditempat itu ditemukan sebuah batu gilang sehingga digunakan sebagai nama desa yaitu desa Gilang.

Siapakah yang berada di makam 'pundhen' tersebut?

Seperti pada 'pundhen' lainnya, biasanya, yang berada di makam 'pundhen' gilang ini adalah sesepuh atau orang yang dituakan atau tokoh masyarakat yang membuka lahan atau 'babat alas' sehingga menjadi cikal bakal desa Gilang sekarang ini. Dan sebagian besar penduduk desa adalah keturunannya.

Dahulu, saat adat Jawa masih sangat kental dan merasuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat desa Gilang, 'pundhen' ini memiliki peranan sentral. Setiap penduduk desa yang memiliki hajat selalu menyempatkan diri untuk datang 'ngalap berkah' atau 'nyadran' atau 'nyekar' ke tempat ini terlebih dahulu.

Jika ke pemakaman umum, biasanya kita  membawa bunga setaman maka 'nyadran' atau 'nyekar' ke 'pundhen' ini harus membawa nasi gurih dan ayam ladha panggang. Konon, itu adalah makanan kesukaan sang 'pundhen',

Kebiasaan ini terus dilakukan dari waktu ke waktu oleh penduduk desa. Jika tidak melakukannya mereka takut akan adanya gangguan atau rintangan yang menghalangi hajatnya.

Nama desa Gilang oleh sebagian penduduk desa diplesetkan sebagai singkatan dari  'kegadisan yang hilang'. Karena pada waktu itu banyak gadis desa Gilang yang hamil diluar nikah atau kehilangan kegadisannya.

Sehingga para orangtua yang memiliki anak gadis merasa ketakutan lalu meminta berkah dari leluhurnya yang berada di 'pundhen' gilang. Dan semenjak itu kejadian kehamilan diluar nikah mulai berkurang dan akhirnya hilang.

Kepercayaan dan rasa hormat penduduk desa terhadap leluhurnya yang berada di 'pundhen' Gilang semakin besar sehingga menjadi semacam sugesti.

Bagi penduduk desa yang percaya, akan menyempatkan diri mengunjungi 'pundhen' lalu minta berkah  apabila mereka punya hajat. Sedangkan bagi yang tidak percaya, mereka mengunjungi 'pundhen' sebagai bentuk rasa hormat terhadap leluhurnya.

Namun bagi penduduk desa yang merasa ragu dengan pendiriannya akan mengalami musibah, seperti yang dialami oleh Sutrisno.

Saat menikahkan anaknya, ia tidak mengunjungi 'pundhen' Gilang padahal sudah diingatkan oleh Mbah Tajib, sang juru kunci 'pundhen'. Akhirnya terjadi musibah, mobil yang membawa pengantin menabrak pohon Asem sehingga keduanya harus dirawat di rumah sakit.

Dan sejak itu, apabila ada penduduk desa yang memiliki hajat kemudian tidak 'nyadran' ke pundhen, akan menjadi bahan pembicaraan.

Namun, sekarang ini adat istiadat Jawa semakin banyak yang ditinggalkan termasuk kebiasaan 'nyadran' atau 'nyekar' ke 'pundhen' ini. Rasa hormat penduduk desa semakin berkurang, mereka lebih senang menggunakan cara yang lebih praktis daripada menyempatkan diri mengunjungi 'pundhen'.

Seperti  dengan membuat bubur merah putih dan bunga 7 rupa lalu mengirimkan doa kepada leluhur yang ada di 'pundhen' tersebut atau bahkan mengabaikannya.

Dan bersamaan dengan tumbangnya pohon Beringin yang berada di 'pundhen', seorang penduduk desa mengadakan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk untuk memeriahkan hajat pernikahan anaknya dan mengabaikan kebiasaan 'nyadran' ke 'pundhen' Gilang. Sehingga hujan turun sejak pertunjukan dimulai sampai selesai dan keesokan harinya, pohon Beringin itu roboh.

Penduduk desa mengartikan robohnya pohon Beringin ini sebagai pertanda robohnya atau hilangnya adat istiadat dan rasa hormat terhadap leluhurnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh para pendahulu mereka.

Demikian kisah tentang robohnya pohon Beringin di 'pundhen' desa Gilang, kecamatan Ngunut, Tulungagung. Tentang kebenarannya sampai sekarang masih menjadi misteri.

Tidak ada komentar