Misteri Ruwatan dalam Tradisi Jawa

Misteri Ruwatan dalam Tradisi Jawa – Ruwatan adalah suatu ritual atau upacara adat masyarakat Jawa yang bertujuan untuk merawat atau membersihkan seseorang dari sukerta yang mengikutinya atau kesalahan yang dilakukannya sehingga terhindar dari bencana (kala). Tradisi yang mengandung misteri kehidupan yaitu tentang anak yang nandang sukerta atau orang yang bernasib sial karena pengaruh kelahirannya dan cara membersihkan atau menyucikannya.

gambar ruwatan wayang kulit

Ruwatan juga bisa berarti menjaga keseimbangan hubungan antara manusia sebagai mikro kosmos (dunia kecil) dan lingkungan atau alam semesta sebagai makro kosmos sehingga kehidupan manusia menjadi tenang dan damai serta terhindar dari bencana (kala).

Ruwatan banyak dilakukan pada jaman dahulu khususnya di daerah pedesaan yang masih menjunjung tinggi tradisi leluhur. Sekarang ini tradisi tersebut sudah jarang dilakukan karena pola fikir manusia yang semakin modern dan silang pendapat tentang manfaat dan kerugiaan melaksanakan tradisi itu, sehingga semakin lama Ruwatan akan semakin pudar lalu hilang dari kazanah budaya bangsa Indonesia.

Dalam kesempatan ini penulis mencoba menyampaikan lagi tulisan tentang tradisi Ruwatan, alasan, tata cara dan asal-usulnya sebagai wacana pengetahuan bagi generasi muda.

Alasan Ruwatan

Diruwat (jawa) atau diruat (sunda) berasal dari adat istiadat Jawa, istilah ruwat berasal dari istilah Ngaruati artinya menjaga dari bencana atau ‘kala’ dalam bahasa Jawa.

Siapa yang harus diruwat?

Menurut masyarakat Jawa, Hal-hal yang dianggap memerlukan adanya upacara Ruwatan dapat digolongkan dalam empat kelompok, yakni :
1. Upacara ruwat bagi orang atau anak yang dianggap mempunyai nasib buruk, disebabkan kelahirannya (anak nandang sukerta).
Setidaknya ada 60 macam yang hendaknya disucikan dari sukerta yaitu anak yang ‘nandang sukerta’ menurut Kitab Manik Maya dan Pakem Pengruwatan Murwakala antara lain adalah,
  • Ontang-Anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan.
  • Uger-Uger Lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal.
  • Sendhang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 perempuan.
  • Pancuran Kapit Sendhang, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 laki-laki.
  • Anak Bungkus, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi ( placenta ).
  • Anak Kembar, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau kembar “dampit” yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan ( yang lahir pada saat bersamaan ) .
  • Kembang Sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan.
  • Kendhana-Kendhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
  • Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki.
  • Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan.
  • Mancalaputra atau Pandawa, yaitu 5 orang anakyang semuanya laki-laki.
  • Mancalaputri, yaitu 5 orang anak yang semuanya perempuan.
Dan masih banyak yang lain yang tidak disebutkan dalam tulisan ini.
2. Ucapara ruwat bagi orang atau anak yang cacat tubuhnya.
3. Ucapara ruwat bagi orang yang dianggap bersalah, karena telah melanggar pantangan atau merusak benda-benda tertentu.
4.    Ruwatan Desa atau lingkungan yang biasa disebut ‘bersih desa’

Karena luasnya pembahasan maka saya batasi pada pembahasan Ruwatan untuk anak yang nandang sukerta saja.

Mengapa anak yang nandang sukerta harus diruwat?

Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, anak sukerta seperti yang disebutkan di atas adalah kelompok manusia yang menjadi makanan Bethara Kala, yang menjadi simbol dari malapetaka atau bencana atau kesusahan hidup. Sehingga jika anak tersebut tidak diruwat maka anak tersebut akan mengalami bencana atau malapetaka di kemudian hari.

Dengan mengadakan Ruwatan maka akan membuang sukerta bagi orang yang nandang sukerta agar jiwanya kembali suci, dan agar terbebas dari sukerta.

Bagi masyarakat Jawa, kondisi seperti itu dianggap jagad kecilnya (mikro kosmos) bertentangan atau tidak seimbang atau tidak harmonis dengan jagad besarnya (makro kosmos) atau alam semesta. Sehingga harus dilakukan suatu ritual atau upacara meruwat atau ruwatan dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangannya seperti sedia kala.

Tata Cara Ruwatan

Pada umumnya, Tradisi Ruwatan dilakukan dengan cara mengadakan pagelaran pewayangan yang membawa cerita/lakon Murwa Kala atau lakon Sudamala atau Durga Ruwat dan dilakukan oleh dalang khusus yang  memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan.

Pada ritual Ruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang.

Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup besar, maka pelaksanaan ruwatan dapat dilakukan secara kolektif.

Tradisi Ruwatan untuk anak yang nandang sukerta ini dilaksanakan pada siang hari. Sedangkan Ruwatan lingkungan atau ‘bersih desa’ yang bertujuan untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.

Adapun sesaji yang harus dipersiapkan dalam upacara Ruwatan antara lain tuwuhan, api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan, kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, nasi golong dengan perlengkapannya, nasi wuduk dengan kelengkapannya, nasi kuning dengan kelengkapannya, bermacam-macam jenang (bubur) yaitu jenang merah, putih, jenang kaleh, dan jenang baro-baro (aneka bubur). Tak lupa jajan pasar, burung dara satu pasang, ayam jawa sepasang, ataupun bebek sepasang.

Selain mengadakan pagelaran wayang kulit yang membutuhkan biaya besar, tradisi Ruwatan dapat dilakukan dengan cara mengundang Dalang Ruwatnya saja datang ke rumah tanpa membawa wayang dan gamelan. Pada dasarnya pelaksanaan upacara ruwat bagi orang yang kurang mampu tidak berbeda dengan upacara ruwat lengkap, hanya sifatnya lebih sederhana.

Dengan demikian biaya yang dikeluarkan tidak begitu besar, sehingga terjangkau oleh mereka. Adapun mengenai unsur-unsur sajian yang diperlukan di dalam upacara itu, tetap harus sama seperti pada upacara lengkap, perbedaannya hanya terletak pada acara pementasan wayangnya.

Di atas telah diutarakan, bahwa pementasan wayang merupakan unsur pokok dalam upacara ruwatan. Untuk keperluan itu orang harus menyediakan biaya yang tidak sedikit, terutama apabila orang mendatangkan dalang yang terkenal.

Di dalam upacara itu dalang hanya bertugas sekedar bercerita saja tentang riwayat Bethara Kala seperti yang terdapat di dalam lakon Murwakala.

Sesudah bercerita, maka diadakan upacara pengguntingan rambut anak yang ruwat dan dengan itu selesailah upacaranya. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan untuk dalang tidak semahal biaya pergelaran wayang yang lengkap.

Asal-Usul Ruwatan

Tradisi Ruwatan di Jawa awalnya diperkirakan berkembang pada masyarakat Jawa kuno yang masih menganut agama Hindu, seperti yang terdapat dalam prasasti Candi Sukuh, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewi Uma atau Bathari Durga yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin.

Seiring perjalanan waktu dengan masuknya Agama Islam ke tanah Jawa, maka tradisi Ruwatan juga mengalami perubahan.

Pada jaman Sunan Kalijaga, tradisi Ruwatan ini disesuaikan atau diisi dengan ajaran-ajaran dan doa-doa dalam agama Islam sehingga unsur Hindu-nya berkurang tinggal unsur budaya yang sudah di-Islamkan.

Seperti kita ketahui bahwa wayang di Jawa khususnya wayang kulit adalah hasil karya Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam pada masyarakat yang masih menganut agama Hindu. Pendekatan budaya wayang dari India yang menjadi rujukan dialihkan ke dalam ajaran Islam, seperti Jimat Kalimosodo yang menjadi pusaka Puntadewa raja Amarta dimaknai sebagai dua kalimat sahadat.

Sedangkan Pandawa lima dimaknai sebagai perwujudan Rukun Islam yang lima. Puntadewa sebagai symbol Sahadat, Bima atau Werkudara symbol Sholat, Janaka atau Arjuna yang gemar bertapa sebagai symbol Puasa dan Nakula-Sadewa melambangkan rukun Zakat dan Haji.

Sehingga tradisi Ruwatan yang masih dilakukan masyarakat Jawa sekarang adalah tradisi yang mengandung ajaran Agama Islam. Dan dalang ruwatan yang terkenal adalah dalang yang beragama Islam seperti Ki Narto Sabdo, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono dan lain-lain.

Demikian pembahasan seputar tradisi Ruwatan dan misterinya yang semakin lama semakin jarang dilakukan oleh masyarakat jawa di jaman modern ini. Jika ada kekurangannya, penulis mohon maaf sebesar-besarnya.

Wasalam.



Tidak ada komentar